Tentang Penulis


Nurhadi namaku. Ya, cuma 7 huruf itu. Namun di beberapa kesempatan sering kutambahi 'SA' di belakang nama ini. Bukan apa-apa, hanya untuk membedakan. Karena ada ribuan nama Nurhadi di Indonesia ini. Di Pekalongan saja, sudah 3 orang yang kukenal bernama Nurhadi. O ya, SA maksudnya 'Sami Aji', nama belakang ayahku.

Jika berniat 'sok nyaru' masang-masang titel di belakang nama, pastinya akan kutulis begini: Nurhadi, SE, Ak, MM. Tahu maksudnya? Itu dibaca: Nurhadi, Sarjana Enggak, Akuntan juga Kagak, Master? Mana Mungkiiin... Hehe...

Aku dilahirkan dari keluarga sederhana yang minim pengetahuan agamanya. Ayahku, Siyam Sami Aji, adalah pensiunan Polri dengan pangkat terakhir cuma Bripka. Beliau berasal dari desa Notog, Keser Kab. Banyumas. Aku tak banyak mengenal keluarga besar ayah, karena kami -aku dan saudara-saudaraku- jarang diajak silaturahim ke desa asalnya sana. Seingatku selama ayah hidup, kurang dari 5 kali aku diajak mengunjungi sanak kerabat ayah.

Sementara ibuku, Sudiyanti, kelahiran asli desa Podo, kec. Kedungwuni, kab. Pekalongan. Ayah dari ibuku (mbah kakung) asli Tegal, juga jarang kusilaturahimi. Sejak menikah kedua kalinya, mbah putri sepertinya syok berat, sehingga kutangkap kesan ingin 'menghilangkan' jejak sejarah nasab anak cucunya. Yah, praktik poligami yang kurang bijaksana, menurutku. Dari pihak mbah kakung, lumayan ada sedikit 'bau' santri, karena beliau adalah tokoh Muhammadiyah di lingkungannya.

Masa kecilku sebagian kuhabiskan di lingkungan asrama polisi Wonopringgo (tahun 70an). Salah satu warga asrama yang paling akrab denganku adalah Om Hadi. Beliau anak buah ayahku. Om Hadi lah yang sering menggendongku dan mengajak main jika ibu sedang repot di dapur. Karenanya jangan heran jika akhirnya di usia 3-4 tahun aku adalah perokok hebat. Yah, karena Om Hadi yang mengajariku. Sebagian masa bermainku lainnya kuhabiskan di desa kelahiran, Podo. Jika pagi di Podo, berkumpul dengan sanak kerabat (tetangga kami masih keluarga, yaitu adik dan kakaknya mbah putri) dan menjelang sore diajak ke asrama. Kata ibuku, konon setiap diajak ke asrama, aku selalu menangis (rewel) hingga meronta-ronta. Menurut para 'orang tua' (di keluargaku, sangat kental sekali nuansa kleniknya), 'penjaga' ku (hehe... emang bodyguard?) tidak mau hidup di asrama, makanya aku selalu rewel. Halah!

Alhamdulillah, waktu aku menginjak kelas 3 SD, ayah sudah mulai mau mengerjakan sholat. Ini berkat konspirasi berdua dengan kakak perempuanku, mbak Lis (tentu saja atas hidayah Allah SWT). Dan -alhamdulillah- proyek mengajak sholat ini pun berimbas juga pada mbah putri dan ibuku. Tentang sikap disiplin ayah yang selalu gasik menunaikan sholat, seluruh isi rumah kalah. Mungkin inilah hasil didikan yang diterapkan kesatuannya dulu. Bahkan saking disiplinnya, kadang adzan belum berkumandang, beliau sudah sholat (alasannya, sudah masuk waktunya. Beliau berpegangan pada jadual yang beliau punya, bukan panggilan muadzin di mushola).

Walau demikian, kebiasaan membuat sesajen tiap malam jum'at kliwon belum bisa dihilangkan. Pernah suatu kali, jiwa usilku kambuh. Sesajen yang baru saja diletakkan mbah putri, tanpa sepengetahuannya kumakan. Bweh! Ternyata kopinya pahit, buburnya anyep (tanpa rasa, hambar). Akhirnya kuacak-acak saja. Apalagi rokok dan seperangkat alat nginang, hanya kuporak-porandakan. Meniru gaya Ibrahim kecil tatkala memenggal kepala berhala, begitu maksudku. Akibatnya, aku dimarahi habis-habisan oleh para sesepuh. Kapok deh!


Riwayat Sekolah (sesungguhnya):
  • Fakultas Teknik Undip, Program Studi Teknik Elektro Angkatan '89 (tidak selesai, hanya kucicipi 5 semester)
  • SMA Negeri 1 Kedungwuni, Pekalongan (lulus tahun 1989)
  • SMP Negeri 1 Wonopringgo, Pekalongan (lulus tahun 1986)
  • SD Negeri 2 Podo, Kedungwuni, Pekalongan (lulus tahun 1983)

Untuk menghubungiku cukup mudah, bisa melalui telfon atau sms: 0816286553, WA: 0819678518 atau akun lainnya:

Email: nurhadi.sa@gmail.com
Facebook: Nurhadi SA
Instagram: nurhadi_sa
Twetter: @Nurhadi_SA