28 September 2011

Poligami Yuuks...

Sorry para Sister, judul ini mungkin langsung menohok ulu hati sampeyan semua. Tapi suer, tidak ada maksud apa-apa kecuali ingin berceloteh seobyektif mungkin. Walau ini sulit ane rasa. Karena posisi ane di pihak laki-laki.

Ala kulli haal, sebenarnya sudah lama ane pengin posting bab poligami ini. Namun baru dapat kesempatan sekarang. Baiklah, kita mulai sekarang.

Ane yakin, Bro & Sis sama-sama sepakat, jika poligami ini adalah hal yang dibolehkan dalam Islam. Jadi, yang ngaku muslim mustinya tidak mendebatnya. Oke, oke, tentang persyaratan yang berat dan lain-lain yang diselenggarakan secara seksama (eh, nglantur) memang itu diwajibkan, dan tidak usah diperdebatkan pula. Cuma satu hal yang ingin ane kemukakan, bahwa manfaat poligami itu akan sangat banyak. Tidak hanya bagi pihak laki-laki, pun bagi para wanita juga dapat bagiannya. He...

Mari kita lihat ilustrasi berikut ini.

Ada sepasang pasutri yang keduanya aktivis dakwah. Dan jamaknya keluarga aktivis, rata-rata mereka tidak takut punya banyak anak. Karena mereka meyakini, bahwa nabinya, sosok panutan dan tauladannya, kelak akan membanggakannya di hadapan ummat lain. Mereka lebih bersemangat lagi, karena dengan jumlah anak yang banyak, akan menjadi saham dalam proses kejayaan Islam. Tentang bagaimana kepayahan memberi makan, pendidikan, dan kebutuhan lainnya, mereka sangat yakin bahwa Tuhannya adalah Allah SWT yang Maha Pencipta Rezeki, Maha Pemurah, Maha Bijaksana, Maha Memberi dan lain-lain.

Baru akan menjadi masalah ketika keduanya harus berjihad di medan dakwah dalam waktu bersamaan, sementara anak-anak tidak ada yang membersamainya di rumah. Dan biasanya keluarga aktivis, mereka masih memiliki anak usia balita, yang masih butuh pengasuhan. Bagi keluarga yang memiliki 'karyawati' (orang lain menyebutnya pembantu), mungkin agak tidak masalah. Namun menurut hemat ane, peran sang 'karyawati' tadi tidak bisa sepenuhnya 'dipercaya' (ma'af, karena sebagian besar mereka adalah pekerja sektor non formal dengan latar belakang pendidikan rendah dan pengetahuan agama yang minim). Jadi ini akan 'berbahaya' bagi perkembangan anak-anak aktivis dalam kacamata 'saham kejayaan Islam'.

Nah, dengan berpoligami, maka ketika suami & istri sedang beraktivitas di luar yang tidak memungkinkan membawa serta sang anak, maka sang buah hati akan aman di rumah istri kedua (atau ketiga dan keempat). Poligami yang memahami prinsip tafahum (saling memahami) yang kemudian sampai pada level ta'awun (saling menolong) inilah yang ane maksudkan. Jadi masing-masing istri mendudukkan posisi anak suami dari istri lainnya setara anak kandungnya sendiri. Sehingga ketika salah satu istri harus meninggalkan anak-anaknya, akan terbantu oleh 'kolega'nya. Akhirnya masing-masing istri merasa aman akan pendidikan dan penjagaan akhlaq sang buah hati karena berada di 'tangan' yang benar, yang sefikroh (se-visi-misi).

Bro & Sis, sungguh indah rasanya jika masing-masing kita bisa memahami peran dan fungsinya. Para Bro sudah paham? Maka jangan takut berpoligami. Para Sis sudah paham? Maka, poligami yuuks...

Eiits... Jangan emosi dong...

23 September 2011

Sajadah Pemecah Belah (Ummat)

Hah, sajadah pemcecah belah ummat? Maksudnya? Tenang... tenang dulu Bro & Sis. Biasa 'kan, kalau bikin judul yang bombastis alias sensasional, hehe...
Ini kan hari Jum'at. Lantas? Yah, bagi para brother, kan siap-siap untuk Jum'atan. Yang PNS biasanya pagi tadi sudah pada segar bugar to? Berkeringat habis olah raga, entah jogging, jalan santai atau sekedar cabutin rumput halaman kantor sambil ngerumpi (hihi...)
Ngomongin soal Jum'atan, pastinya kan Bro semua siap-siap mandi besar, semprot minyak wangi di baju koko, sarung dan peci. Tidak lupa sajadah semampir di pundak. Kalo ane sendiri sih biasanya males bawa-bawa sajadah, karena di masjid kan sudah ada karpetnya, tak khawatir kedinginan lah.
Nah, topik hari ini ane mau celoteh soal karpet masjid yang bermotif sajadah bergandeng-gandeng seperti ini:


Mengapa ane sebut pemecah belah ummat? Karena sering ane jumpai, masyarakat muslim yang sholat di atas karpet motif ini cenderung menempatkan diri pada "kapling" per motifnya. Jika dalam satu shof ada 10 kotak, maka hanya akan diisi oleh 10 orang jamaah saja. Sehingga tiap shof-nya jadi renggang, kayak orang sedang marahan aja. Padahal Rosulullah yang mulia memerintahkan kita untuk merapatkan shof. Jadi sebenarnya shof yang '10 kotak' itu bisa menampung 15 orang jamaah. Coba Bro & Sis hitung, jika masjid/musholla hanya terdiri dari 10 baris karpet yang 10 kotak itu, maka masyarakat cenderung akan merasa muat hanya 100 orang. Padahal sejatinya bisa muat 150 orang.
Di samping alasan pemborosan ruang, ane lebih kepada memperhatikan sunnah nabi, yakni merapatkan shof. Ingat, kerapatan dan kerapihan shof itu merupakan kesempurnaan ibadah sholat kita. Hikmahnya (ane pikir) rasa ukhuwwah Islamiyah akan lebih terasa. Karenanya menurut ane lebih afdhol jika karpet masjid memilih motif polos. Antara lain yang semisal ini:

22 September 2011

'Ak, Aem, Nyam-nyam...

"Aak...ak...," kataku sambil menyorongkan sesendok nasi plus irisan telur ke mulut anakku, Irfan (4th). Kedua bibirnya terkatup rapat. Masih kurang cukup, ia menggeleng-gelengkan kepalanya ketika tanganku terus berusaha mengarah ke mulutnya. Hanya sendok pertama yang mulus tanpa perlawanan, sendok-sendok berikutnya dibutuhkan 'pergulatan' yang cukup seru.

Beginilah ane mengawali pagi ini dengan anak kelimaku yang masih duduk di bangku TK. Bro & Sis tentu maklum 'kan, jika kami rada memaksa anak-anak untuk menghabiskan sarapannya. Karena manfaat sarapan yang sangat besar bagi kesiapan anak beraktifitas seharian di sekolah. Bagaimana jadinya seorang bocah yang berangkat sekolah dengan perut kosong? Apalagi untuk anak usia balita. Jadi, satu sisi tindakan 'kekerasan' dalam penyuapan ini harap dimaklumi. Maksudnya keras alias bersikukuh harus menghabiskan sarapannya, hehe...

Jujur saja, yang bermasalah dalam kasus ini ya kami ini, selaku orang tuanya. Karena sebelum jam 7 pagi sang kakak sudah harus tiba di sekolah, jika tak ingin kena 'semprit' dari pihak sekolah. Belum lagi, persiapan kami sendiri untuk beraktifitas seharian ini. Dan waktu take off dari rumah tinggal 2 menit lagi, sementara Irfan belum merampungkan sarapannya. Penginnya kami, 'ak' terus 'aem' dan 'nyam-nyam' dengan lancar, seperti hari-hari sebelumnya (huu... maunya!).

Eh, bicara soal suap-menyuap ane jadi ingat berita di TV pagi ini. Konon KPK berhasil menetapkan tersangka dalam kasus suap pembangunan wisma atlet tuh. Weleh... ane jadi kepikiran, kok mesti dalam kasus suap-menyuap ini, yang diuber-uber hanya penyuapnya saja to? Lha mbok yang disuap itu juga dikosek gitu lho, biar adil. Bukankah proses suap itu mesti ada dua pihak di dalamnya: pelaku suap dan yang menerima suap? Jadi menurut hemat ane, kalau pengin membersihkan perilaku menyimpang ini harus dua-duanya diuber. Ya penyuapnya, ya yang menerima suap juga kudu dihukum. Coba pikirkan, andai semua pejabat negeri ini berani dan keukeuh menolak suap, pasti orang-orang yang doyan menyuap itu akan kebingungan dengan sendirinya. Lha mau nyuap siapa coba, wong semua pejabatnya anti suap? Betul tidak?

Eh, Irfan! Mau kemana kau? Jangan lari, Nak! Sini, sarapannya dihabiskan... Irfaaan...(aarrgh... sudah hampir jam 7)

21 September 2011

Indikator Kematangan Emosi: Rem & Klakson

Bro & Sis tentunya sering bepergian bukan? Nah, berbagai perangai para pengendara di jalan raya pasti akan kita jumpai. Ada yang temperamental, membunyikan klakson keras-keras karena terhalang pengendara lain. Ada yang tertib dan taat pada rambu-rambu lalu lintas.
Lucunya, sudah tahu kalau di depannya macet dan tidak mungkin bisa beringsut, eeh.. masih saja gemar mencet-mencet klakson. Lha lantas apa maunya sih? Ane pernah melihat tulisan yang cukup menyentil di 'bokong' truk: "Ora sabar, mabur!" (Kalau tidak sabar, terbanglah sana! begitu kira-kira pesan yang hendak disampaikan pemilik truk itu). Yah, mungkin akan dimaklumi manakala kita sedang dikejar urusan sehingga berkendara layaknya dikejar setan (hehe... memangnya setan suka main kejar-kejaran ya?). Sehingga klakson kita lebih sering menyalak ketimbang diam. Seolah para pengguna jalan lain kudu minggir karena kita akan lewat (pengin begini? nyewa vorj rider atau ambulan dong).
Ketika lalu lintas ramai atau di persimpangan jalan ada kendaraan lain mau menyeberang, segera saja kita meraungkan klakson memberi warning. Padahal kalau kita sedikit saja mau berempati, betapa susahnya memotong jalan kala lalu lintas sedang ramai, membunyikan klakson tidaklah perlu. Tempatkanlah diri kita di pihak yang hendak menyeberang itu, pasti kita akan beri kesempatan untuknya menyeberang. Toh yang punya urusan penting bukan kita seorang kan? Maukah kita memikirkan kemungkinan, bahwa urusan orang itu barangkali lebih penting dari kita? Maka gunakanlah rem yang telah melengkapi kendaraan kita itu. Beri orang lain kesempatan dan berlapang dadalah.
Bro & Sis yang dirahmati Allah, pabrikan telah melengkapi kendaraan kita ini dengan piranti yang komplit, ada rem juga klakson. Jadi gunakanlah keduanya secara proporsional dan bijak. Ini mungkin bisa menjadi indikator bagi kita, seberapa matangkah emosi kita kala berkendara di jalan raya. Jika klakson lebih sering kita pencet, maka beristighfarlah. Namun jika rem yang lebih sering, maka bersyukurlah.
Semuanya terserah Bro & Sis: rem atau klakson?

20 September 2011

Doa Naik Kendaraan


 
“Dengan nama Allah, segala puji bagi Allah, Maha Suci Tuhan yang menundukkan kendaraan ini untuk kami, padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya. Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami (di hari Kiamat). Segala puji bagi Allah (3x), Maha Suci Engkau, ya Allah! Sesungguhnya aku menganiaya diriku, maka ampunilah aku. Sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau.”

atau yang singkat seperti ini:


"Dengan nama Allah, yang menjalankan kendaraan ini berlayar dan berlabuh, sesungguhnya Tuhanku Pemaaf dan Pengasih.” 

Itu doa naik kendaraan yang biasanya diajarkan di TK-TK Islam. Namun kalau ane hendak berkendara, maka do'anya tidak cukup itu saja. Biasanya ane menambahinya dengan redaksi yang customized, begini bunyinya:

"Yaa Robb 'ala kulli syai-in qodiir, tundukkanlah kendaraan ini dalam pengendalian hamba, dan tiadalah pengendalian hamba ini kecuali atas ridho dan kuasa-Mu.
Yaa Robb 'ala kulli syai-in qodiir, jadikanlah hamba dan pihak lain saling melihat dan terlihat, dan jadikanlah hamba dan pihak lain saling sigap dalam mengantisipasi setiap potensi benturan.
Yaa Muhaimin Yaa Salaam, hamba berlindung dari potensi musibah perjalanan darat, dan dari kecerobohan hamba dan pihak lain, serta dari keausan kendaraan ini dan kendaraan pihak lain. Aamiin..."

Biasanya kalau bepergiannya membonceng atau naik angkutan umum, maka kata "hamba" ane ganti "pak supir" atau nama orang yang mengendalikan kendaraannya. Pun ketika perjalanannya via matra lain, misal laut atau udara, maka kata "darat" tinggal diganti aja. Bro & Sis boleh meniru, menambahi atau bahkan meninggalkannya. Toh itu kreasi ane sendiri, yang tidak berdasar hadits maupun Qur'an. Itu dilatarbelakangi oleh kondisi di lapangan yang sering ane jumpai. Bahwa musibah (kecelakaan di jalan raya) tidak selamanya karena faktor kelalaian kita, namun juga bisa disebabkan oleh kecerobohan orang lain (yang saya istilahkan dengan "pihak lain" dalam doa di atas) serta faktor-faktor yang "di luar kendali kita". Wallahu a'lam bish showab.

19 September 2011

Pelajaran dari Kematian

 Pak Kyai memimpin do'a dalam sebuah prosesi pemakaman

Mengawali pagi dengan takziah ibunda dari ustadzah anakku yang masih TK. Alhamdulillah, banyak hikmah bisa kupetik, antara lain secuil berikut yang hendak kubagi untuk Bro & Sis semua...
Bekal apa yang sudah kita siapkan untuk kematian kita kelak? Astaghfirullah... ternyata ane belum satu pun mempersiapkan bekal. Iman dan amal sholeh? Mungkin kita bisa mengklaim diri beriman dan telah melakukan amal sholeh. Namun apakah jaminan bahwa itu semua bakal diterima Allah SWT? Taqwa! Kata Allah, bahwa sebaik-baik bekal adalah taqwa. Ya, tentunya sebenar-benarnya taqwa. Wah, kalau ane mawas diri, rasa-rasanya ane bukan orang yang bertaqwa deh. Betapa tidak, masih banyak warning-warning dari Allah yang tidak kita patuhi sepenuhnya. Astaghfirullah...
Kalau ane lihat pada takziah pagi ini, seonggok jenazah hanya akan dibekali (yah, dibekali, bukan membekali diri), selembar kain putih dan doa dari sanak kerabat. Handai taulan dan sahabat? Mungkin yang banyak kolega, akan banyak yang ikut mengantarkan ke makam. Bagaimana dengan diri ini? Berapa kira-kira sahabat, tetangga dan kenalan yang akan ikut mengantarkan jasad ini ke liang lahat? Kata orang, semakin banyak yang ikut mengantarkan merupakan indikator kesholehan jenazah tersebut. Maka berapa orang pentakziah yang kita damba: puluhan, ratusan atau sampai ribuan kah? Astaghfirullah...
Perhatikanlah Bro & Sis, bahwa di setiap kesempatan ketika kita ikut menyaksikan prosesi penguburan jenazah, orang-orang ramai akan memasukkan benda-benda apa saja ke liang lahat itu. Mulai dari galah pengukur panjang dan lebar lubang, daun pisang, cuilan-cuilan kayu sisa potongan lempeng atau bambu penahan tanah, bahkan tali rafia dan kertas pembungkus batu nisan pun ikut dilemparkan. Karena orang-orang itu meyakini, bahwa tak boleh satu pun ubo rampe penguburan jenazah tertinggal, semua harus ikut dicemplungkan.
Ane jadi merenung, kok sama seperti sampah ya? Jadi beginilah diri ini jika mati kelak, akan ditimbun bareng sampah-sampah itu. Maka, pantaskah kita menyombongkan diri?

16 September 2011

Mantenan dan Etos Kerja

Wuih, judulnya muantep tenaan... Padahal isinya gak sesangar itu lho. Ane cuma mau berceloteh yang ringan aja. Gini, di kampung ane, musim syawalan (pasca lebaran) ini 'kan lagi musimnya orang punya gawe. Undangan walimahan (walimatul 'ursy alias walimah nikah) sampe setumpuk tuh.
Nah, yang menarik perhatian ane dari prosesi walimahan ini adalah MC-nya. Ya, si pengatur acara ini biasanya setelah membuka dan membacakan susunan acaranya, maka dia akan bilang "selanjutnya acara akan berjalan secara otomatis."  Ternyata tidak cuma komputer aja ya, yang bisa diotomatisasi, hehe... Jadi begitulah, usai sang MC membuka dan berjalan mata acara pertama (biasanya dengan membaca Surat Al Fatihah), acara akan bergulir otomatis. Bahkan para petugas, baik pembaca (Qori') tilawah Al Qur'an, sang Khotib (biasanya dirangkap) dan petugas pencatat nikah dan yang lain-lain sudah faham urutannya.
Weleh, enak bener tuh MC. Kerjanya di awal doang, padahal "bayarannya" penuh, hehe...Ane kuatirnya, pekerjaan-pekerjaan lain di luar MC nikahan akan ikut-ikutan. Jadi maunya kerjanya sedikit aja, tapi komisinya penuh. Maka Bro & Sis tidak usah heran kalau di negeri ini banyak orang kaya tanpa kerja nyata.
Sekarang tinggal kita mau tidak, negeri ini kembali ke skenario awal, yaitu untuk menjadi negeri yang baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur? Kalau kita sepakat mau, maka para pekerja a la MC Nikahan itu harus kita ingatkan, untuk bekerja secara profesional dan sungguh-sungguh. Bekerja menuntaskan amanah profesinya masing-masing hingga tuntas, baru kemudian menuntut haknya. OK?